Sabtu, 24 Oktober 2015

analisis unsur instriksi novel Hanya Sebutir Debu karya Sandy Firly



Analisi unsur intriksik novel “hanya sebutir debu”
Karya Sandi Firly
oleh : Hafidh Mubarrok

Judul                  : Hanya Sebutir Debu
Penulis              : Sandy Firly
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Tahun Terbit       : 2014
Kota terbit          : jakarta
Cetakan             : pertama
Tebal Buku         : 183 lembar





A.   Sinopsis
Seorang pemuda yang sedang merantau dari Kalimantan menuju kabupaten tapin dan meminta berhenti di sebuah laggar Ar-Rahim untuk bertemu dengan Guru Zaman, seorang pria berwajah ramah berjubah panjang belum menikah walaupun sudah kepala 4. Saat bertemu dengan Guru Zaman rozan langsung memberikan titipan ayahnya Guru Aran kepada Guru Zaman yaitu sebuah surat.
Perjalanan itu dilakukan Rozan karna perintah ayahnya yang berkata setelah subuh dipelataran laggar, walaupun tak yakin akan bisa melakukan perjalanan itu. Setelah lepas mahgrib rozan Rozan disuruh mengajari santri-santri yang ada dipondok milik Guru Zaman. Pada  hari rozan diajak oleh Guru Zaman untuk pergi kesebuah rumah yang ternyata rumah itu adalah rumah seorang  donator pondok milik guru Zaman, dan juga guru Zaman mengajar ngaji disana. Namanya kira gadis cantik bermata teduh putih manis. Karna terlalu tua Guru Zaman pun menyuruh Rozan untuk menggantikan mengajari kira mengaji. Setelah sepulang dari rumah wemah itu rozan dan Guru Zaman dihadang segerombol laki-laki yang sedang membawa pisau, balok kayu, gir, dan alat tajam lainnya. Lalu Guru Zaman turun dari motornya dan berjumpa dengan seorang yang disegani di gerombolan tersebut, namanya jantra orang kepercayaan pak Ismail ayah kira.
Selain mengajar ngaji dirumah kira, Rozan juga mengajar ngaji di pondok pesantren milik guru Zaman, setelah mengajr ngaji tiba –tiba dikagetkan dengang suara truk penganggkut batu bara terbalik dikiri jalan dan seorang bersarung tertelungkup tak bergerak setelah tertubruk oleh truk yang pengemudinya kini tengah di hajar masa hingga babak belur. Korban tersebut adalah bapak Pulai bocah yang baru berumur sekitar 6 tahun yang tengah mengaji di langgar. Seketika itu Pulai langsung histeris dan lari pontang panting menemui bapaknya, lalu tak lama kemudian ayah pulai dan pengemudi itu di larikan ke rumah sakit untuk penanganan yang lebih intensif. Ayah Pulai meninggal dunia pagi harinya lalu siangnya disusul oleh pengemudi truk tadi. Ada beberapa pertanyan di masyarakat siapa yang menjamin sekolah pulai, kehidupan pulai dan urusan lainnya karna ibu pulai meniggal saat melahirkan pulai.
Selain mengajar ngaji Rozan juga senang membuat puisi, karangan, serta gemar menulis di blognya. Karna kebiasaan menulis puisi, rozan juga sering dimintai tolong teman –temannya untuk membuatkan puisi untuk para kekasihnya walaupun tak gratis. Suatu malam setelah terjadinya tabrakan yang merenggut ayah Pulai warga dan juga preman disekitar desa itu memblokir jalan untuk menuntut keadilan bagi Pulai dan masyarakat, tetapi malam itu pula pihak dari batu bara yang tak lain adalah ayah kira pak Ismail juga mengklarifikasi masalah tersebut dengan menjamin kehidupannya dan menjamin sekolah pulai sampai tamat Aliyah dan menyemprot air kejalan agar debu batu bara tidak menggangu warga.
Suatu hari Rozan diundang untuk makan siang disebuah rumah makan di kota bersama ibu diyang ibu Kira dan juga Kira sendiri dan juga dua orang pengawal yang bertugas sebagai sopir dan bodyguard. Pada saat itu juga rozan berangkat naik mobil kira, setelah mereka sampai di rumah makan tersebut meraka langsung duduk disebuah tempat dipaling belakang. Setelah mereka selesai makan ibu Diyang memberitahukan sesuatu yang membuat kaget dan tak percaya akan hal itu, orang tua yang selama ini mengasuh, membesarkan dan merawat Rozan ternyata bukan orang tua kandung Rozan, Ibu kandung Rozan kini tinggal di Yogyakarta, Namanya Sarah Hidayati. Hal itu dilakukan ibu Diyang karena ia dendam kepada Sarah Hidayati karna hampir sepuluh tahun berselingkuh dengan pak Ismail tak lain adalah ayah kira, ibu Diyang mengetahui hal tersebut karena curiga akan perilaku suaminya yang kian lama aneh dan sering tak pulang kerumah dan juga para pesuruh Ibu Diyang yang diam diam membuntuti dan melaporkan apa saja yang dilakuaka oleh pak Ismail.
Seketika setelah mendengar cerita itu, Rozan pun langsung berdiri dan pulang ke Martapura untuk menemui Guru Aran dan Ibu Marhamah, untuk menyakan apakah hal tersebut asli atau tidak. Setelah sampai di martapura Rozan pun langsung menyakan kepada Guru Aran dan Ibu Marhamah, dan ternyata cerita itu di iyakan oleh mereka. Nemun merekan tidak mengetahui siapa orang tua asli Rozan karna ia ditemukan didepan rumah, yang terbungkus handuk tebal dan masih berwarna merah. Zahra seorang santri yang telah lama di pindok guru Aran dan salah satu ustadzah disana memang mengetahui akan keaslian Rozan namun merahasiakannya kepada siapapun, Zahra memang sangat dekat dengan Rozan dari kecil hingga besar yang membelikan makanan, mainan, dan beberapa baju dan juga sering mereka berdua berfoto dan di kirimkan kepada Sarah Hidayati. Hal itu dilakukan oleh Zahra karana permintaan dari Sarah yang tak lain ibu kandung Rozan.
Setelah mendengar dari Zahra tentang Rozan yang mengetahui kalau dia bukan anak kandung Guru Aran dan Ibu Marhamah, Sarah langsung bergegas menuju rantau di Kalimantan Tengah tepatnya di Martapura. Setelah sampai di Martapura Sarah yang sudah dijemput di bandara oleh Zahra langsung menuju kerumah guru Zaman karna bebarapa lama setelah Rozan pulang kemartapura Guru Zaman mengambil lagi Rozan. Sebelum sampai ke rumah Guru Zaman Rozan di panggil oleh anak buah pak Ismail karna Kira di kabarkan tengah sakit demam dan mengigau memanggil nama Rozan.
Saat itu pula Rozan tak berfikir panjang dan langsung saja menuju rumah kira dengan menaiki mobil  anak buah pak Ismail. Setelah sampai di sepanjang jalan ternyata mereka tidak menuju rumah kira melainkan kesebuah rumah tua yang kotor tak ditinggali. Disana hanya ada sebuah kursi dan dua orang yang sudah menunggu kehadiran Rozan, Rozan pun di tali dengan plester kaki dan tangannya lalu mulutnya di plester memutar sampai kepalanya. Ternyata dua orang itu adalah Ibu Diyang dan seorang preman yang bernama Udin Tungkih. Ibu Diyang dendam kepada sarah yang merebut suaminya, lalu melampiaskan kepada Rozan. Ibu diyang berniat memisahkan Rozan dengan Ibunya dengan berencana membunuh Rozan karna Ibu Diyang mengetahui kedatangan Sarah ke martapura.
Setelah Sarah dan Zahra sampai ke rumah Guru Zaman mereka bertanya kepada guru Zaman dimana Rozan, tak lama kemudian datanglah Kira. Dan mereka saling berkenalan, lalu timbul kecurigaan karna Kira ternyata tidak sakit dan rozan pun diculik karan telah berjam jam tak kunjung pulang. Disebuah warung kopi yang disana hanya ada Jantra dan Udin tungkih lalu pak Sawang. Mereka berkelahi karna saling dendam satu dengan yang lainnya karna memperebutkan wilayah dan kekuasaan. Pertarungan itu membuat Udin tungkih kabur karena ditengahi oleh Guru Zaman, Jantra yang terkena sabetan pisau Udin Tungkih tak rela dan mengejar Udin Tungkih, dan di ikuti oleh Guru zaman, Sarah Zahra dan pak sawang.
Udin tungkih tiba disebuah rumah tak berpenghuni yang didalamnya adalah tempat penyekapan Rozan, disana Udin tungkih dan Jatra bertarung hingga polisi Udin Tungkih kalah dalam pertikaian itu. Dan disanalah semua rahasiah terbongkar. Sarah mengakui Rozan adalah anaknya, kejadian kehamilan Sarah itu bermula saat Sarah mulai bosan dengan kehidupan dipondok, lalu Sarah diam-diam keluar pondok untuk berjalan-jalan di pasar dan mulai mengenal seorang pemuda penjaga toko. Meraka menjalin hubungan hingga suatu malam mereka janjian untuk menonton film di bioskop di sebuah kota, entah racun apa yang dimasukkan kedalam minuman Sarah hingga ia tak sadarakan diri, lalu ia tersadar telah ada disebuah kamar dan ia sadar telah diperkosa.
Rumah itu juga mempertemukan Sarah dan Rozan kepada ayahnya yaitu Jantra seorang preman yang memang tak asing saat Rozan dan Jantra saling bertemu untuk pertama kalinya. Sarah bisa mengenali Jantra karna mereka berdua saling bertatap muka dan saling mengingat akan kejadian itu. Saat polisi datang dan menggerebek rumah itu Udin tungkih pun di ringkus oleh polisi dan jantra di larikan kerumah sakit diiringi suara sirene ambulan yang saling bersautan.

B.   Analisis unsur instriksik novel “Hanya Sebutri Debu”
B.1 Tema
Novel “Hanya Sebutir Debu” mempunyai tema yaitu seorang anak yang bernama Rozan yang mencari siapa sebenarnya dirinya dan siapa ayah dan ibunya yang asli.
B.2 Plot / Alur
Dilihat dari urutan cerita novel Hanya Sebutir Debu memiliki alur maju. Urutan peristiwa diceritakan secara runtut mulai tahap permulaan sampai tahap penyelesiaan.
Tahap permulaan menceritakan kehidupan Rozan di pondok milik ayahnya. Rozan hidup dengan sangat berkecukupan, ia disuruh ayahnya untuk pergi kesebuah kota yang letaknya sekitar 68 kilometer. Tujuan ayahnya adalah menyuruh rozan untuk menemui guru Zaman yaitu teman guru Aran ayah Rozan. Sebagai ilustrasi, berikut akan dikutipkan beberapa data yang menunjuk pada penceritaan tersebut.
“Diingatnya benar pesan ayahnya, saat memasuki Kabupaten Tapin ia harus mengatakan kepada sopir agar diturunkan di depan Laggar Ar-Rahim. Di samping langgar itulah Guru Zaman, orang yang harus ditemuinya, tinggal. Dikatakan ayahnya, sahabatnya itu hanya sendirian. Belum kawin, meski usianya sudah nyaris kepala lima….”(HSD,2014:4)
B.2.1 Tahap-tahap alur
B.2.1-1 . Tahap perkenalan
Ditahap perkenalan ini memperkenalkan Rozan yang di suruh ayanhya untuk merantau sesuai dengan keinginan ayahnya yaitu Guru Zaman namun hal tersebut sangat berat bagi sang ibu yaitu Ibu Marhamah.
“Rozan mulai teringat cerita-cerita ayahnya tentang yang mesti dilakukan seorang anak laki-laki ktika sudah mulai berabjak dewasa. “kamu tentu masih ingat cerita-ceritaku. Ya bagaimana semestinya seorang anak laki-laki ketika mulai beranjak dewasa. Dan kukira inilah saatnya untukmu Roza(HSD,2014:12)
. pemunculan konflik
               Dalam novel ini koflik julai muncul saat Ibu Diyang dan Pak Ismail bertengakar hebat karna Ibu Diyang mengetahui bahwa Pak Ismail berselingkuh selam hampir sepuluh tahun dan ketika itu Rozan dan Guru Zaman tengah mengajar ngaji Kira.
“Sepuluh menit berlalu, mendadak terdengar teriakan keras berasal dari ruangan dalam rumah besar itu. Guru Zaman dan Rozan, meksi mendengar jelas suara-suara pertengkaran itu, berusaha bersikap biasa, tidak tampak terkejut.
Ketika Rozan menatap wajah Kira, gadis itu sepertinya juga tidak perduli.ia tetap melanjutkan pelajaran mengajinya dengan mengulang apa yang dibaca Guru Zaman.
Pertengkaran terus berlangsung, bertambah kancang, sesekali terdengar suara benda pecah. Teriakan-teriakan, umpatan-umpatan bersahutan(HSD,2014:30)


. peningkatan masalah
               Masalah dalam novel ini meningkat saat Rozan mengetahui bahwa Guru Aran dan Ibu Marhamah bukanlah orang tua Rozan yang Asli hal ini disampaikan oleh Ibu Diyang.
“Maafkan aku bila harus menyampaikan ini. Namun aku yakin, kamu sesungguhnya dari waktu kewaktu telah mencurigai hal ini” ucap Ibu Diyang, tetap tidak berubah. Suaranya datar namun tajam “ya, ibu kandungmu sekarang ini tinggal di jawa, tepatnya Yogyakarta. Namanya Sarah Hidayati. Hanya saja sayangnya aku tidak tahu siapa ayahmu sebenarnya. Bagaimana ceritanya, sebaiknya kamu tanyakan saja langsung kepada Guru Aran dan Ibu Marhamah.
Rozan bangkit dari kursinya. Ada tenaga yang begitu besar menggerakkan tubuhnya untuk mengahburkan apa yang tehidang diatas meja. Namun ia memilih menyaurkan energy itu dengan berlari keluar sekuat tenaga(HSD,2014:105)
. klimaks
               Klimaks dari permasalahan novel ini adalah Rozan diculik oleh Ibu Diyang dengan alasan bahwa Kira sedang tengah sakit dan mengigau memanggil nama Rozan dan ia ingin Rozan mati ditanganya untuk membalskan dendam kepadanya kepada Sarah Hidayati Ibu Rozan.
               “Rozan, kamu diminta Pak Ismail dating kerumah, sekarang juga.
               “Ada apa ya?
“Kira sakit, ia sering mngigau menyebut namamu. Pak ismail memohon agar kamu mau dating menjenguk.
“Rozan masih termangu. Ditatapnya kedua orang itu untuk mencari keyakinan. Ia memang tidak begitu mengenal semua anak buah Pak Ismail. Tapi, melihat mobil mewah yang mereka bawa, Rozan percaya bahwa mereka orang suruhan ayah Kira. “baiklah, nanti saya berangkat sendiri”
“tidak perlu Rozan. Pak Ismail minta agar ikut kami saja. Nanti pulangnya kami antar kembali. Biar lebih cepat, dan tidak merepotkan Rozan.
“setelah meminta izin kepada Guru Zaman, Rozan pin ikut bersama dua orang berpakian rapid an cukup sopan itu. Sejak itu Rozan tak pulang-pulang(HSD,2014:149)
. penyelesaian
               Akhir dari cerita novel ini adalah Rozan bertemu dengan Ayahnya sebenarnya dan bertemu Ibunya yang sebenarnya. Terungkaplah semua dengan jelas siapa sebenarnya Rozan.
“Jantra yang tergolek lemah tak berdaya di antara merekamulai meneteskan air mata. Sejak pertama ia melhat Sarah, ia mulai mengerti apa arti pertemuan di sisa-sisa tarikan napasnya. Perlahan diangkatnya tanganya kewajah Rozan. Ia kini tahu jawaban mengapa wajah itu selalu terasa akrab di benaknya semenjak pertama kali bertemu dan disitulah semua akhir dari pencarian orantua Rozan yang asli(HSD,2014:181)
B.3. penokohan
Tokoh utama dalam novel Hanya Sebutir Debu adalah Rozan. Rozan adalaha anak yang tidak terlalu pandai tetapi dia suka sekali membaca buku karangan Jalaluddin Rumi yang selalu ia bawa kemana-mana dan ia juga sering serkali membeli novel.
“Rozan mulai menyukai membaca novel ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah buku tipis berdebu diatas tumpukan kitab-kitab tebal milik ayahnya. Buku tipis itu berjudul di bawah lindungan kakbah-sampulnya juga bergambar kakbah-karya Buya Hamka. Sejak itu. Ia mulai sering pergi ketoko buku. Hingga akhirnya ia juga jatuh cinta dengan syair Jalaluddin Rumi(HSD,2014:19)
Selain tokoh utama ada juga tokoh pembantu atau tokoh tritagonis yaitu Guru Zaman, orang tua yang ramah bijak sana dan pemimpin sebuah pondok pesantren.
“ketika ia hendak menuju rumah sebelah kanan langgar, seorang pria berpeci putih, juga bergamis putih, seperti tiba-tiba saja muncul didepan langgar ia tidak tahu pria berwajah ramah berjenggot panjang itu datang(HSD,2014:7)
Zahra adalah seorang wanita yang sangat menyayangi Rozan walaupun bukan ibunya. Ia juga sangat perhatian dengan Rozan dan juga sering membelikan barang-barang kesukaan Rozan waktu ia masih bayi.
“Zahra sudah seperti kakaknya sendiri. Waktu ia kecil, perempuan yang kini sedang mengajar di pondok itu sering mengendong dan membelikanya mainan-mainan lebih banyak dari yang pernah dibelikan ayahnya dan ibunya. Begitu juga permen, es krim, dan pakaian(HSD,2014:15)
Ibu Marhamah adalah ibu asuh Rozan walaupun bukan ibunya asli dan Rozan belum mengetahuinya adalah seorang yang sangat sayang kepada Rozan.
“Di pelupuk matanya hanya terbayang gambaran seorang anak yang akan pergi meninggalkan kedua orangtuanya ke sebuah tempat asing, dimana ia akan nenulai perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa(HSD,2014:16)

Pulai adalah seorang anak yang sering mengumandangkan adzan di langgar milik Guru Zaman. Ibunya sudah meninggal saat ,elahirkan Pulai dan bapaknya meninggal karna ditabrak sebuah truk pengangkut batu bara yang lalu lalang disekitar langgar dan rumah pulai.
“Bocah itu selalu saja buru-buru ingin memperdengarkan suaranya lewat corong langgar, meski sebenarnya suara yang keluar itu seolah-olah tidak berasal dari tenggorokannya, melainkan lewat hidungnya(HSD,2014:9)
Selai Pulai ada juga Bejo, Maman, Suci dan Rohmi. Mereka adalah anak-anak yang belajar mengaji di langgar Ar-Rahim.
“Guru Zaman memperkenalkan Rozan kepada anak-anak yang belajar mengaji di laggar, juga di madrasah yang dikelola Guru Zaman(HSD,2014:17)

Kira adalah seoranga anak orang kaya sekaligus donator tetap pondok pesantren milik Guru Zaman ia anak yang cantik dan lemah lembut.
“Guru Zaman memperkanalkan keduanya. Rozan hanya mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum tipis. Begitu pula gadis yang namanya sempat tertancap di ingatan Rozan ketika disebutkan;Kira(HSD,2014:29)
   Selain bukti diatas, yang membuktikan bahwa kira cantik adalah sebagai berikut.
“sesekali ia juga mencuri pandang kepada gadis berkulit putih itu. Anggun dan menyejukkan(HSD,2014:30)



Selain itu ada toko antagonis yaitu Jantra seorang preman yang berkuasa di sekitar pertambangan batu bara.
“Maklum, Jantra ini adalah seorang penguasa jalanan di sini umurnya lebih dari tiga puluh lima tahun. Wajahnya yang bersih tanpa ditumbuhi kumis atau jenggot dan memakai celana jeans belel dan jaket butu(HSD,2014:35)
   Tokoh antagonis lainya adalah Ibu Diyang yaitu ibu Kira Ibu kira sangat membenci Rozan karna bapak kira Yaitu pak ismail berselingkuh dengan Ibu Rozan yang asli dan saat itu Rozan belum mengetahuinya.
“senyum kemenangan mengembang di bibirnya yang merah delima, ia benar-benar puas. Sakit hatinya terhadap Sarah Hidayati, perempuan yang diam-diam selama hampir sepuluh tahun telah merebut sebagian cinta suaminya kini telah terbalaskan(HSD,2014:105)


B.4. setting
   Seting atau latar merupakan latar belang suatu cerita yang menggambarkan tempat,waktu atau segala peristiwa. Secara garis besar setting di bagi mejadi waktu,tempat dan suasana.
Dalam novel Hanya Sebutir Debu ini memiliki beberapa setting namun lebih tepatnya di pondok pesantren milik  Guru Aran.
“Ini adalah kenyataan pertama yang membuka mata dan pikiran Rozan tentang kebenaran ucapan Guru Aran bahwa ada banyak hal yang musti dilihatnya di dunia luar, kehidupan yang sama sekali berbeda dari lingkungan pondok tempatnya selama ini besar dan menuntut ilmu”(HSD.2014:24)

Suatu ketika Rozan di suruh ayahnya untuk menginap di rumah Guru Zaman.
“bahwa mulai malam itu ia menginap di rumah Guru Zaman, dan mulai malam itu ia membantu mengajar ngaji membantu Guru Zaman, juga di madrasah yang dikelola Guru Zaman”(HSD,2014:17)
Rozan juga mengajar ngaji di rumah Kira. Setiap sabtu malam ia harus pergi kerumah kira untuk mengajar ngaji menggantikan Guru Zaman.
“Selebihnya Guru Zaman memberitahukan kepada Kira, bahwa selanajutnya nanti yang mengajari Kira mengaji adalah Rozan(HSD.2014:31)
   Selain beberapa tempat diatas novel ini juga bertempat di sebuah langgar Ar-Rahim.
“Kini ia telah berdiri didepan Langgar Ar-rahim. Pelan ditariknya napas. Langgar itu tampak lebih bersih dari rumah-rumah berdebu yang dilihatnya dari jendela kaca mobil yang baru saja berlalu meninggalkannya(HSD,2014:6)
    Novel ini juga menjelaskan Madrasah yang dikelola Guru Zaman.
               “Madrasah yang dikelola Guru Zaman di pinggir kota rantau, tidaklah terlalu besar. Ada banyak jendela sepanjang dinding kiri kanannya, satu bagian menghadap kejalan, bagian lainnya lagi memberikan pemandangan sawah-sawah yang menghijau”(HSD,2014:21)
   Mushola milik keluarga Kira juga menjadi latar dalam novel ini.
               “Seperti biasanya, Guru Zaman kali ini bersama Rozan masuk ke rumah besar itu langsung menuju ruang musala yang berada di belakang ruang tamu”(hsd2014:29)
   Latar tempat selanjutnya adalah saat terjadinya penggerebekan di salah satu warung kopi yang melibatkan Rozan yang tidak tahu apa-apa.
               “Walau ia ingat pesan Guru Zaman agar tidak pulang terlalu larut, namun ia berpikir untuk mampir sebentar di warung Mama Ida, sekedar minum kopi”(HSD,2014:93)
               “Tiba-tiba dua mobil patrol berhenti persis didepan warung. Delapan anggota polisi berlompatan dari bak belakang. Sementara yang lainnya menyebar di pinggir jalan, tiga anggota masuk ke dalam warung”(HSD,2014:95)
   Latar waktu di novel ini mempunyai beberapa waktu yakni pagi, siang sore dan malam. Di pagi hari Rozan diminta ayahnya untuk tidak segera meninggalkan musala.
               “Pagi sehabis shalat subuh itu, tak biasanya Rozan diminta ayahnya agar tidak segera meninggalkan langgar. Saat itu, semua murid pondok telah kembali ke kamar mereka masing-masing. Hanya tertinggal dirinya, ayah dan ibunya”(HSD,2014:13)
   Pagi, Rozan juga melihat sebuah truk yang terbalik menabrak orang.
               “Pagi, sehabis shalat Subuh tiga jam sebelum mendapat kabar bahwa Suhadi korban tabrakan tadi malam meninggal dunia, Rozan dan Guru Zaman melihat truk batu bara yang terbalik masih dalam posisi semula separuh badan truk miring ke dalam saluran pinggir jalan ditumbuhi semak-semak”(HSD,2014:47)
   Selain di pagi hari novel ini juga mempunyai waktu siang hari.
               “Siang usai mengajar dasar-dasar ilmu computer untuk murid Aliyah Rozan membuka blognya yang di header-nya bertuliskan “ruang sunyi”(HSD,2014:22)
   Selain siang novel ini juga mempunyai waktu sore hari.
               “Sore yang muram. Sisa panas siang tadi membuat udara yang bercampur debu terasa gerah. Hijau daun seperti bunglon, menyerupai warna batang pohon, pucat disaput sinar matahri sore yang malas”(HSD,2014:49)
   Malam, saat Rozan ingin tidur teringat wajah seseorang yang sore tadi baru berkenelan.
               “Saat malam menjelang tidur, ia selalu melukis wajah itu di atas plakfon kamarnya, lengkap dengan senyuman pertama yang  diperolehnya saat perkenalan”(HSD,2014:52)
   Latar suasana dalm novel Hanya Sebutir Debu ini adalah sedih, tegang dan bahagia.
   Suasana sedih tergambar saat Rozan mengetahui bahwa dia bukan anak kandung dari Guru Aran dan Ibu Marhamah.
               “Sungguh drama menyedihkan, ucapnya lagi seakan di tempat itu tidak ada orang lain. Ia tahu bahwa Rozan menaruh hati kepada Kira. Dengan peristiwa itu, maka tak saja membuat hati Rozan hancur, tapi juga akan semakin kehilangan kepercayaan diri di hadapan Kira”(HSD,2014:106)
   Suasana tegang tergambar saat ayah dan ibu kira sedang perang hebat.
“Sepuluh menit berlalu, mendadak terdengar teriakan keras berasal dari ruangan dalam rumah besar itu. Guru Zaman dan Rozan, meksi mendengar jelas suara-suara pertengkaran itu, berusaha bersikap biasa, tidak tampak terkejut.
Ketika Rozan menatap wajah Kira, gadis itu sepertinya juga tidak perduli.ia tetap melanjutkan pelajaran mengajinya dengan mengulang apa yang dibaca Guru Zaman.
Pertengkaran terus berlangsung, bertambah kancang, sesekali terdengar suara benda pecah. Teriakan-teriakan, umpatan-umpatan bersahutan(HSD,2014:30)
   Suasana bahagia tergambar saat Rozan bertemu dengan ayah dan ibunya yang asli.
               “Guru…” ucap Rozan tercekat sembari menatap Guru Zaman. Ia memulai memahami. Kelopak matanya terasa hangat oleh air mata yang mulai menggebak. “Guru…” ucapnya sekali lagi seakan meminta Guru Zaman bersuara untuk meyakinkan dirinya. Zahra juga mulai terisak dalam tangis.
“Ya… iya, Rozan….”
Kalimat singkat yang mampu mejelaskan semuanya.
Tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan. Semuanya hanya berbicara lewat air mata. Perasaan apa yang tengah begejolak dalam diri hanyalah milik masing-masing. Tak ada yang mampu menerjemahkan. Mobil ambulans terus melaju menembus sisa gelap malam, sayup-sayup kumandang azan subuh mulai bersautan”(HSD,2014:181)
B.5. sudut pandang
    Sudut pandang adalah penempatan posisi pengarang terhadap tokoh untuk menampilkan cerita. Secara mudah, sudut pandang adalah tekhnik yang dipilih pengarang untuk menampilkan cerita. Dalam penyajian novel Hanya Sebutir Debu, pengarang menggunakan sudut pandang ketiga dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata ganti ia, dia atau mereka.
               “Rozan masih terlalu muda, tak cukup banyak keberanian di dalam dirinya, meski ia tetap merasa tahan untuk menanggung segala derita dan hantaman apa pun terkadang disadarinya bahwa itu memang menjadi terlalu belebih-lebihan, sebab ketika merasa kesepian ia pun bisa menangis sendiri”(HSD,2014:12)
B.6. gaya Bahasa
   Gaya merupakan cara pengungkapan seorang pengarang. Setiap pengarang mempunyai gaya Bahasa sendiri dalam penyampaian cerita. Pengarang novel Hanya Sebutir Debu menggunakan Bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak umum karena Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana dan tidak rumit.
               “Diluar, udara seperti berkabut. Kering dan kesat. Ditutupnya kaca jendela agar angina musim kemarau tak membawa masuk debu-debu ke dalam mobil colt. Sebagai seorang tersaing dalam perjalanan, ia merasakan kesendirian yang menyamankan sekaligus kesunyian. Seperti debu yang hanya akan terlihat kala tertimpa cahaya, begitulah ia merasakan tak benar-benar ada. Hanya seseorang yang sedang melakukan perjalanan, namun tak tahu akan berakhir dimana”(HSD,2014:1)
B.7. amanat
   Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam sebuah cerita. Pesan dalam cerita mencerminkan pandangan hidup pengarang. Pesan dapat berupa penerapan sikap dan tingkah laku para tokoh yang terdapat dalam cerita. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh tersebut dapat diharapkan dapat menyajikan hikmah. Amanat dalam novel Hanya Sebutir Debu disampaikan melalui sikap dan tingkah laku Rozan yang menjadi tokoh utama. Yaitu jangan pernah putus asa dalam menghadapi masalah seberat apapun. terus berjuang dan tetap semangat. Dan sayangilah kedua orang tua kita walupun bukan orang tua kita yang asli. Selain itu kehidupan di pondok pesantren sangat baik bagi kita sebagai umat islam.
  

C. penilaian
C.1. kelebihan novel
   Kelebihan novel ini adalah ceritanya menarik kemudian cerita ini berdasarkan cerita ini merupakan kisah nyata dari seorang Razaan Aiman Tisan.

C.2. kelemahan novel
               Kelemahan novel ini adalah ada beberapa kata yang tidak semua orang mengerti, kemudian ada beberapa kata yang tidak sempurna seperti halnya kata dalam yang hanya dituliskan dlm tepatnya di halaman 101 pada paragraph ke-tujuh, dan juga pada halaman 18 paragraf terakhir yang menuliskan kata tugas menjadi tukas.

1 komentar:

PERAN KEPALA DAERAH DALAM MENGELOLA KEKAYAAN DAERAH UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

BAB I                                                   PENDAHULUAN A. Latar Belakang      Indonesia adalah negara kepulauan, yan...