Analisi
unsur intriksik novel “hanya sebutir debu”
Karya
Sandi Firly
oleh : Hafidh Mubarrok
Judul :
Hanya Sebutir Debu
Penulis : Sandy Firly
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : 2014
Kota terbit : jakarta
Cetakan : pertama
Tebal Buku : 183 lembar

A. Sinopsis
Seorang pemuda yang sedang
merantau dari Kalimantan menuju kabupaten tapin dan meminta berhenti di sebuah
laggar Ar-Rahim untuk bertemu dengan Guru Zaman, seorang pria berwajah ramah
berjubah panjang belum menikah walaupun sudah kepala 4. Saat bertemu dengan
Guru Zaman rozan langsung memberikan titipan ayahnya Guru Aran kepada Guru
Zaman yaitu sebuah surat.
Perjalanan itu dilakukan Rozan karna perintah
ayahnya yang berkata setelah subuh dipelataran laggar, walaupun tak yakin akan
bisa melakukan perjalanan itu. Setelah lepas mahgrib rozan Rozan disuruh
mengajari santri-santri yang ada dipondok milik Guru Zaman. Pada hari rozan diajak oleh Guru Zaman untuk pergi
kesebuah rumah yang ternyata rumah itu adalah rumah seorang donator pondok milik guru Zaman, dan juga
guru Zaman mengajar ngaji disana. Namanya kira gadis cantik bermata teduh putih
manis. Karna terlalu tua Guru Zaman pun menyuruh Rozan untuk menggantikan
mengajari kira mengaji. Setelah sepulang dari rumah wemah itu rozan dan Guru
Zaman dihadang segerombol laki-laki yang sedang membawa pisau, balok kayu, gir,
dan alat tajam lainnya. Lalu Guru Zaman turun dari motornya dan berjumpa dengan
seorang yang disegani di gerombolan tersebut, namanya jantra orang kepercayaan
pak Ismail ayah kira.
Selain mengajar ngaji dirumah
kira, Rozan juga mengajar ngaji di pondok pesantren milik guru Zaman, setelah
mengajr ngaji tiba –tiba dikagetkan dengang suara truk penganggkut batu bara
terbalik dikiri jalan dan seorang bersarung tertelungkup tak bergerak setelah
tertubruk oleh truk yang pengemudinya kini tengah di hajar masa hingga babak
belur. Korban tersebut adalah bapak Pulai bocah yang baru berumur sekitar 6
tahun yang tengah mengaji di langgar. Seketika itu Pulai langsung histeris dan
lari pontang panting menemui bapaknya, lalu tak lama kemudian ayah pulai dan
pengemudi itu di larikan ke rumah sakit untuk penanganan yang lebih intensif.
Ayah Pulai meninggal dunia pagi harinya lalu siangnya disusul oleh pengemudi
truk tadi. Ada beberapa pertanyan di masyarakat siapa yang menjamin sekolah
pulai, kehidupan pulai dan urusan lainnya karna ibu pulai meniggal saat
melahirkan pulai.
Selain mengajar ngaji Rozan juga
senang membuat puisi, karangan, serta gemar menulis di blognya. Karna kebiasaan
menulis puisi, rozan juga sering dimintai tolong teman –temannya untuk
membuatkan puisi untuk para kekasihnya walaupun tak gratis. Suatu malam setelah
terjadinya tabrakan yang merenggut ayah Pulai warga dan juga preman disekitar
desa itu memblokir jalan untuk menuntut keadilan bagi Pulai dan masyarakat,
tetapi malam itu pula pihak dari batu bara yang tak lain adalah ayah kira pak
Ismail juga mengklarifikasi masalah tersebut dengan menjamin kehidupannya dan
menjamin sekolah pulai sampai tamat Aliyah dan menyemprot air kejalan agar debu
batu bara tidak menggangu warga.
Suatu hari Rozan diundang untuk
makan siang disebuah rumah makan di kota bersama ibu diyang ibu Kira dan juga
Kira sendiri dan juga dua orang pengawal yang bertugas sebagai sopir dan
bodyguard. Pada saat itu juga rozan berangkat naik mobil kira, setelah mereka
sampai di rumah makan tersebut meraka langsung duduk disebuah tempat dipaling
belakang. Setelah mereka selesai makan ibu Diyang memberitahukan sesuatu yang
membuat kaget dan tak percaya akan hal itu, orang tua yang selama ini mengasuh,
membesarkan dan merawat Rozan ternyata bukan orang tua kandung Rozan, Ibu
kandung Rozan kini tinggal di Yogyakarta, Namanya Sarah Hidayati. Hal itu
dilakukan ibu Diyang karena ia dendam kepada Sarah Hidayati karna hampir
sepuluh tahun berselingkuh dengan pak Ismail tak lain adalah ayah kira, ibu
Diyang mengetahui hal tersebut karena curiga akan perilaku suaminya yang kian
lama aneh dan sering tak pulang kerumah dan juga para pesuruh Ibu Diyang yang
diam diam membuntuti dan melaporkan apa saja yang dilakuaka oleh pak Ismail.
Seketika setelah mendengar cerita itu, Rozan pun
langsung berdiri dan pulang ke Martapura untuk menemui Guru Aran dan Ibu
Marhamah, untuk menyakan apakah hal tersebut asli atau tidak. Setelah sampai di
martapura Rozan pun langsung menyakan kepada Guru Aran dan Ibu Marhamah, dan
ternyata cerita itu di iyakan oleh mereka. Nemun merekan tidak mengetahui siapa
orang tua asli Rozan karna ia ditemukan didepan rumah, yang terbungkus handuk
tebal dan masih berwarna merah. Zahra seorang santri yang telah lama di pindok
guru Aran dan salah satu ustadzah disana memang mengetahui akan keaslian Rozan
namun merahasiakannya kepada siapapun, Zahra memang sangat dekat dengan Rozan
dari kecil hingga besar yang membelikan makanan, mainan, dan beberapa baju dan
juga sering mereka berdua berfoto dan di kirimkan kepada Sarah Hidayati. Hal
itu dilakukan oleh Zahra karana permintaan dari Sarah yang tak lain ibu kandung
Rozan.
Setelah mendengar dari Zahra
tentang Rozan yang mengetahui kalau dia bukan anak kandung Guru Aran dan Ibu
Marhamah, Sarah langsung bergegas menuju rantau di Kalimantan Tengah tepatnya
di Martapura. Setelah sampai di Martapura Sarah yang sudah dijemput di bandara
oleh Zahra langsung menuju kerumah guru Zaman karna bebarapa lama setelah Rozan
pulang kemartapura Guru Zaman mengambil lagi Rozan. Sebelum sampai ke rumah
Guru Zaman Rozan di panggil oleh anak buah pak Ismail karna Kira di kabarkan
tengah sakit demam dan mengigau memanggil nama Rozan.
Saat itu pula Rozan tak berfikir
panjang dan langsung saja menuju rumah kira dengan menaiki mobil anak buah pak Ismail. Setelah sampai di
sepanjang jalan ternyata mereka tidak menuju rumah kira melainkan kesebuah rumah
tua yang kotor tak ditinggali. Disana hanya ada sebuah kursi dan dua orang yang
sudah menunggu kehadiran Rozan, Rozan pun di tali dengan plester kaki dan
tangannya lalu mulutnya di plester memutar sampai kepalanya. Ternyata dua orang
itu adalah Ibu Diyang dan seorang preman yang bernama Udin Tungkih. Ibu Diyang
dendam kepada sarah yang merebut suaminya, lalu melampiaskan kepada Rozan. Ibu
diyang berniat memisahkan Rozan dengan Ibunya dengan berencana membunuh Rozan
karna Ibu Diyang mengetahui kedatangan Sarah ke martapura.
Setelah Sarah dan Zahra sampai ke
rumah Guru Zaman mereka bertanya kepada guru Zaman dimana Rozan, tak lama
kemudian datanglah Kira. Dan mereka saling berkenalan, lalu timbul kecurigaan
karna Kira ternyata tidak sakit dan rozan pun diculik karan telah berjam jam
tak kunjung pulang. Disebuah warung kopi yang disana hanya ada Jantra dan Udin
tungkih lalu pak Sawang. Mereka berkelahi karna saling dendam satu dengan yang
lainnya karna memperebutkan wilayah dan kekuasaan. Pertarungan itu membuat Udin
tungkih kabur karena ditengahi oleh Guru Zaman, Jantra yang terkena sabetan
pisau Udin Tungkih tak rela dan mengejar Udin Tungkih, dan di ikuti oleh Guru
zaman, Sarah Zahra dan pak sawang.
Udin tungkih tiba disebuah rumah
tak berpenghuni yang didalamnya adalah tempat penyekapan Rozan, disana Udin
tungkih dan Jatra bertarung hingga polisi Udin Tungkih kalah dalam pertikaian
itu. Dan disanalah semua rahasiah terbongkar. Sarah mengakui Rozan adalah
anaknya, kejadian kehamilan Sarah itu bermula saat Sarah mulai bosan dengan
kehidupan dipondok, lalu Sarah diam-diam keluar pondok untuk berjalan-jalan di
pasar dan mulai mengenal seorang pemuda penjaga toko. Meraka menjalin hubungan
hingga suatu malam mereka janjian untuk menonton film di bioskop di sebuah
kota, entah racun apa yang dimasukkan kedalam minuman Sarah hingga ia tak
sadarakan diri, lalu ia tersadar telah ada disebuah kamar dan ia sadar telah
diperkosa.
Rumah itu juga mempertemukan
Sarah dan Rozan kepada ayahnya yaitu Jantra seorang preman yang memang tak
asing saat Rozan dan Jantra saling bertemu untuk pertama kalinya. Sarah bisa
mengenali Jantra karna mereka berdua saling bertatap muka dan saling mengingat
akan kejadian itu. Saat polisi datang dan menggerebek rumah itu Udin tungkih
pun di ringkus oleh polisi dan jantra di larikan kerumah sakit diiringi suara
sirene ambulan yang saling bersautan.
B. Analisis
unsur instriksik novel “Hanya Sebutri Debu”
B.1 Tema
Novel “Hanya Sebutir Debu”
mempunyai tema yaitu seorang anak yang bernama Rozan yang mencari siapa
sebenarnya dirinya dan siapa ayah dan ibunya yang asli.
B.2 Plot / Alur
Dilihat dari urutan cerita
novel Hanya Sebutir Debu memiliki alur maju. Urutan peristiwa diceritakan
secara runtut mulai tahap permulaan sampai tahap penyelesiaan.
Tahap permulaan
menceritakan kehidupan Rozan di pondok milik ayahnya. Rozan hidup dengan sangat
berkecukupan, ia disuruh ayahnya untuk pergi kesebuah kota yang letaknya
sekitar 68 kilometer. Tujuan ayahnya adalah menyuruh rozan untuk menemui guru
Zaman yaitu teman guru Aran ayah Rozan. Sebagai ilustrasi, berikut akan
dikutipkan beberapa data yang menunjuk pada penceritaan tersebut.
“Diingatnya
benar pesan ayahnya, saat memasuki Kabupaten Tapin ia harus mengatakan kepada
sopir agar diturunkan di depan Laggar Ar-Rahim. Di samping langgar itulah Guru
Zaman, orang yang harus ditemuinya, tinggal. Dikatakan ayahnya, sahabatnya itu
hanya sendirian. Belum kawin, meski usianya sudah nyaris kepala
lima….”(HSD,2014:4)
B.2.1 Tahap-tahap alur
B.2.1-1 . Tahap perkenalan
Ditahap perkenalan ini
memperkenalkan Rozan yang di suruh ayanhya untuk merantau sesuai dengan
keinginan ayahnya yaitu Guru Zaman namun hal tersebut sangat berat bagi sang
ibu yaitu Ibu Marhamah.
“Rozan
mulai teringat cerita-cerita ayahnya tentang yang mesti dilakukan seorang anak
laki-laki ktika sudah mulai berabjak dewasa. “kamu tentu masih ingat
cerita-ceritaku. Ya bagaimana semestinya seorang anak laki-laki ketika mulai
beranjak dewasa. Dan kukira inilah saatnya untukmu Roza(HSD,2014:12)
.
pemunculan konflik
Dalam
novel ini koflik julai muncul saat Ibu Diyang dan Pak Ismail bertengakar hebat
karna Ibu Diyang mengetahui bahwa Pak Ismail berselingkuh selam hampir sepuluh
tahun dan ketika itu Rozan dan Guru Zaman tengah mengajar ngaji Kira.
“Sepuluh
menit berlalu, mendadak terdengar teriakan keras berasal dari ruangan dalam
rumah besar itu. Guru Zaman dan Rozan, meksi mendengar jelas suara-suara
pertengkaran itu, berusaha bersikap biasa, tidak tampak terkejut.
Ketika
Rozan menatap wajah Kira, gadis itu sepertinya juga tidak perduli.ia tetap
melanjutkan pelajaran mengajinya dengan mengulang apa yang dibaca Guru Zaman.
Pertengkaran
terus berlangsung, bertambah kancang, sesekali terdengar suara benda pecah.
Teriakan-teriakan, umpatan-umpatan bersahutan(HSD,2014:30)
.
peningkatan masalah
Masalah
dalam novel ini meningkat saat Rozan mengetahui bahwa Guru Aran dan Ibu
Marhamah bukanlah orang tua Rozan yang Asli hal ini disampaikan oleh Ibu
Diyang.
“Maafkan
aku bila harus menyampaikan ini. Namun aku yakin, kamu sesungguhnya dari waktu
kewaktu telah mencurigai hal ini” ucap Ibu Diyang, tetap tidak berubah.
Suaranya datar namun tajam “ya, ibu kandungmu sekarang ini tinggal di jawa,
tepatnya Yogyakarta. Namanya Sarah Hidayati. Hanya saja sayangnya aku tidak
tahu siapa ayahmu sebenarnya. Bagaimana ceritanya, sebaiknya kamu tanyakan saja
langsung kepada Guru Aran dan Ibu Marhamah.
Rozan
bangkit dari kursinya. Ada tenaga yang begitu besar menggerakkan tubuhnya untuk
mengahburkan apa yang tehidang diatas meja. Namun ia memilih menyaurkan energy
itu dengan berlari keluar sekuat tenaga(HSD,2014:105)
.
klimaks
Klimaks
dari permasalahan novel ini adalah Rozan diculik oleh Ibu Diyang dengan alasan
bahwa Kira sedang tengah sakit dan mengigau memanggil nama Rozan dan ia ingin
Rozan mati ditanganya untuk membalskan dendam kepadanya kepada Sarah Hidayati
Ibu Rozan.
“Rozan, kamu diminta Pak Ismail
dating kerumah, sekarang juga.
“Ada apa ya?
“Kira
sakit, ia sering mngigau menyebut namamu. Pak ismail memohon agar kamu mau
dating menjenguk.
“Rozan
masih termangu. Ditatapnya kedua orang itu untuk mencari keyakinan. Ia memang
tidak begitu mengenal semua anak buah Pak Ismail. Tapi, melihat mobil mewah
yang mereka bawa, Rozan percaya bahwa mereka orang suruhan ayah Kira. “baiklah,
nanti saya berangkat sendiri”
“tidak
perlu Rozan. Pak Ismail minta agar ikut kami saja. Nanti pulangnya kami antar
kembali. Biar lebih cepat, dan tidak merepotkan Rozan.
“setelah
meminta izin kepada Guru Zaman, Rozan pin ikut bersama dua orang berpakian
rapid an cukup sopan itu. Sejak itu Rozan tak pulang-pulang(HSD,2014:149)
.
penyelesaian
Akhir
dari cerita novel ini adalah Rozan bertemu dengan Ayahnya sebenarnya dan
bertemu Ibunya yang sebenarnya. Terungkaplah semua dengan jelas siapa
sebenarnya Rozan.
“Jantra
yang tergolek lemah tak berdaya di antara merekamulai meneteskan air mata.
Sejak pertama ia melhat Sarah, ia mulai mengerti apa arti pertemuan di
sisa-sisa tarikan napasnya. Perlahan diangkatnya tanganya kewajah Rozan. Ia
kini tahu jawaban mengapa wajah itu selalu terasa akrab di benaknya semenjak pertama
kali bertemu dan disitulah semua akhir dari pencarian orantua Rozan yang asli(HSD,2014:181)
B.3. penokohan
Tokoh utama dalam novel Hanya Sebutir
Debu adalah Rozan. Rozan adalaha anak yang tidak terlalu pandai tetapi dia suka
sekali membaca buku karangan Jalaluddin Rumi yang selalu ia bawa kemana-mana
dan ia juga sering serkali membeli novel.
“Rozan
mulai menyukai membaca novel ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah buku
tipis berdebu diatas tumpukan kitab-kitab tebal milik ayahnya. Buku tipis itu
berjudul di bawah lindungan kakbah-sampulnya
juga bergambar kakbah-karya Buya Hamka. Sejak itu. Ia mulai sering pergi ketoko
buku. Hingga akhirnya ia juga jatuh cinta dengan syair Jalaluddin Rumi(HSD,2014:19)
Selain tokoh
utama ada juga tokoh pembantu atau tokoh tritagonis yaitu Guru Zaman, orang tua
yang ramah bijak sana dan pemimpin sebuah pondok pesantren.
“ketika ia hendak menuju
rumah sebelah kanan langgar, seorang pria berpeci putih, juga bergamis putih, seperti
tiba-tiba saja muncul didepan langgar ia tidak tahu pria berwajah ramah
berjenggot panjang itu datang(HSD,2014:7)
Zahra
adalah seorang wanita yang sangat menyayangi Rozan walaupun bukan ibunya. Ia
juga sangat perhatian dengan Rozan dan juga sering membelikan barang-barang
kesukaan Rozan waktu ia masih bayi.
“Zahra sudah seperti
kakaknya sendiri. Waktu ia kecil, perempuan yang kini sedang mengajar di pondok
itu sering mengendong dan membelikanya mainan-mainan lebih banyak dari yang
pernah dibelikan ayahnya dan ibunya. Begitu juga permen, es krim, dan
pakaian(HSD,2014:15)
Ibu Marhamah adalah ibu asuh Rozan walaupun bukan ibunya
asli dan Rozan belum mengetahuinya adalah seorang yang sangat sayang kepada
Rozan.
“Di
pelupuk matanya hanya terbayang gambaran seorang anak yang akan pergi
meninggalkan kedua orangtuanya ke sebuah tempat asing, dimana ia akan nenulai
perjalanan hidupnya sendiri sebagai seorang anak laki-laki yang beranjak
dewasa(HSD,2014:16)
Pulai adalah seorang anak yang sering mengumandangkan
adzan di langgar milik Guru Zaman. Ibunya sudah meninggal saat ,elahirkan Pulai
dan bapaknya meninggal karna ditabrak sebuah truk pengangkut batu bara yang
lalu lalang disekitar langgar dan rumah pulai.
“Bocah
itu selalu saja buru-buru ingin memperdengarkan suaranya lewat corong langgar,
meski sebenarnya suara yang keluar itu seolah-olah tidak berasal dari
tenggorokannya, melainkan lewat hidungnya(HSD,2014:9)
Selai Pulai ada juga Bejo, Maman, Suci dan Rohmi. Mereka
adalah anak-anak yang belajar mengaji di langgar Ar-Rahim.
“Guru
Zaman memperkenalkan Rozan kepada anak-anak yang belajar mengaji di laggar,
juga di madrasah yang dikelola Guru Zaman(HSD,2014:17)
Kira adalah seoranga anak orang kaya sekaligus donator
tetap pondok pesantren milik Guru Zaman ia anak yang cantik dan lemah lembut.
“Guru
Zaman memperkanalkan keduanya. Rozan hanya mengangguk pelan sambil
menyunggingkan senyum tipis. Begitu pula gadis yang namanya sempat tertancap di
ingatan Rozan ketika disebutkan;Kira(HSD,2014:29)
Selain bukti diatas, yang membuktikan bahwa kira cantik adalah
sebagai berikut.
“sesekali
ia juga mencuri pandang kepada gadis berkulit putih itu. Anggun dan
menyejukkan(HSD,2014:30)
Selain itu ada toko antagonis yaitu Jantra seorang preman
yang berkuasa di sekitar pertambangan batu bara.
“Maklum,
Jantra ini adalah seorang penguasa jalanan di sini umurnya lebih dari tiga
puluh lima tahun. Wajahnya yang bersih tanpa ditumbuhi kumis atau jenggot dan
memakai celana jeans belel dan jaket butu(HSD,2014:35)
Tokoh antagonis lainya adalah Ibu Diyang yaitu ibu Kira Ibu kira
sangat membenci Rozan karna bapak kira Yaitu pak ismail berselingkuh dengan Ibu
Rozan yang asli dan saat itu Rozan belum mengetahuinya.
“senyum kemenangan
mengembang di bibirnya yang merah delima, ia benar-benar puas. Sakit hatinya
terhadap Sarah Hidayati, perempuan yang diam-diam selama hampir sepuluh tahun
telah merebut sebagian cinta suaminya kini telah terbalaskan(HSD,2014:105)
B.4. setting
Seting atau latar merupakan latar belang
suatu cerita yang menggambarkan tempat,waktu atau segala peristiwa. Secara
garis besar setting di bagi mejadi waktu,tempat dan suasana.
Dalam
novel Hanya Sebutir Debu ini memiliki beberapa setting namun lebih tepatnya di pondok
pesantren milik Guru Aran.
“Ini
adalah kenyataan pertama yang membuka mata dan pikiran Rozan tentang kebenaran
ucapan Guru Aran bahwa ada banyak hal yang musti dilihatnya di dunia luar,
kehidupan yang sama sekali berbeda dari lingkungan pondok tempatnya selama ini
besar dan menuntut ilmu”(HSD.2014:24)
Suatu
ketika Rozan di suruh ayahnya untuk menginap di rumah Guru Zaman.
“bahwa
mulai malam itu ia menginap di rumah Guru Zaman, dan mulai malam itu ia
membantu mengajar ngaji membantu Guru Zaman, juga di madrasah yang dikelola
Guru Zaman”(HSD,2014:17)
Rozan juga
mengajar ngaji di rumah Kira. Setiap sabtu malam ia harus pergi kerumah kira
untuk mengajar ngaji menggantikan Guru Zaman.
“Selebihnya Guru Zaman
memberitahukan kepada Kira, bahwa selanajutnya nanti yang mengajari Kira
mengaji adalah Rozan(HSD.2014:31)
Selain beberapa tempat diatas novel ini juga bertempat di sebuah
langgar Ar-Rahim.
“Kini ia telah berdiri
didepan Langgar Ar-rahim. Pelan ditariknya napas. Langgar itu tampak lebih
bersih dari rumah-rumah berdebu yang dilihatnya dari jendela kaca mobil yang
baru saja berlalu meninggalkannya(HSD,2014:6)
Novel ini juga menjelaskan
Madrasah yang dikelola Guru Zaman.
“Madrasah yang dikelola Guru Zaman di pinggir kota
rantau, tidaklah terlalu besar. Ada banyak jendela sepanjang dinding kiri
kanannya, satu bagian menghadap kejalan, bagian lainnya lagi memberikan
pemandangan sawah-sawah yang menghijau”(HSD,2014:21)
Mushola milik keluarga Kira juga menjadi latar dalam novel ini.
“Seperti biasanya, Guru Zaman kali ini bersama Rozan
masuk ke rumah besar itu langsung menuju ruang musala yang berada di belakang
ruang tamu”(hsd2014:29)
Latar tempat selanjutnya adalah saat terjadinya penggerebekan di
salah satu warung kopi yang melibatkan Rozan yang tidak tahu apa-apa.
“Walau ia ingat pesan Guru Zaman agar tidak pulang
terlalu larut, namun ia berpikir untuk mampir sebentar di warung Mama Ida,
sekedar minum kopi”(HSD,2014:93)
“Tiba-tiba dua mobil patrol berhenti persis didepan
warung. Delapan anggota polisi berlompatan dari bak belakang. Sementara yang
lainnya menyebar di pinggir jalan, tiga anggota masuk ke dalam
warung”(HSD,2014:95)
Latar waktu di novel ini mempunyai beberapa waktu yakni pagi,
siang sore dan malam. Di pagi hari Rozan diminta ayahnya untuk tidak segera
meninggalkan musala.
“Pagi sehabis shalat subuh itu, tak biasanya Rozan
diminta ayahnya agar tidak segera meninggalkan langgar. Saat itu, semua murid
pondok telah kembali ke kamar mereka masing-masing. Hanya tertinggal dirinya,
ayah dan ibunya”(HSD,2014:13)
Pagi, Rozan juga melihat sebuah truk yang terbalik menabrak orang.
“Pagi, sehabis shalat Subuh tiga jam sebelum mendapat
kabar bahwa Suhadi korban tabrakan tadi malam meninggal dunia, Rozan dan Guru
Zaman melihat truk batu bara yang terbalik masih dalam posisi semula separuh
badan truk miring ke dalam saluran pinggir jalan ditumbuhi
semak-semak”(HSD,2014:47)
Selain di pagi hari novel ini juga mempunyai waktu siang hari.
“Siang usai mengajar dasar-dasar ilmu computer untuk
murid Aliyah Rozan membuka blognya yang di header-nya bertuliskan “ruang
sunyi”(HSD,2014:22)
Selain siang novel ini juga mempunyai waktu sore hari.
“Sore yang muram. Sisa panas siang tadi membuat udara
yang bercampur debu terasa gerah. Hijau daun seperti bunglon, menyerupai warna
batang pohon, pucat disaput sinar matahri sore yang malas”(HSD,2014:49)
Malam, saat Rozan ingin tidur teringat wajah seseorang yang sore
tadi baru berkenelan.
“Saat malam menjelang tidur, ia selalu melukis wajah
itu di atas plakfon kamarnya, lengkap dengan senyuman pertama yang diperolehnya saat perkenalan”(HSD,2014:52)
Latar suasana dalm novel Hanya Sebutir Debu ini adalah sedih,
tegang dan bahagia.
Suasana sedih tergambar saat Rozan mengetahui bahwa dia bukan anak
kandung dari Guru Aran dan Ibu Marhamah.
“Sungguh drama menyedihkan, ucapnya lagi seakan di
tempat itu tidak ada orang lain. Ia tahu bahwa Rozan menaruh hati kepada Kira.
Dengan peristiwa itu, maka tak saja membuat hati Rozan hancur, tapi juga akan
semakin kehilangan kepercayaan diri di hadapan Kira”(HSD,2014:106)
Suasana tegang tergambar saat ayah dan ibu kira sedang perang
hebat.
“Sepuluh
menit berlalu, mendadak terdengar teriakan keras berasal dari ruangan dalam
rumah besar itu. Guru Zaman dan Rozan, meksi mendengar jelas suara-suara
pertengkaran itu, berusaha bersikap biasa, tidak tampak terkejut.
Ketika
Rozan menatap wajah Kira, gadis itu sepertinya juga tidak perduli.ia tetap
melanjutkan pelajaran mengajinya dengan mengulang apa yang dibaca Guru Zaman.
Pertengkaran
terus berlangsung, bertambah kancang, sesekali terdengar suara benda pecah.
Teriakan-teriakan, umpatan-umpatan bersahutan(HSD,2014:30)
Suasana bahagia tergambar saat Rozan bertemu dengan ayah dan
ibunya yang asli.
“Guru…” ucap Rozan tercekat sembari menatap Guru
Zaman. Ia memulai memahami. Kelopak matanya terasa hangat oleh air mata yang mulai
menggebak. “Guru…” ucapnya sekali lagi seakan meminta Guru Zaman bersuara untuk
meyakinkan dirinya. Zahra juga mulai terisak dalam tangis.
“Ya… iya, Rozan….”
Kalimat singkat yang mampu
mejelaskan semuanya.
Tak ada lagi kata-kata yang
bisa diucapkan. Semuanya hanya berbicara lewat air mata. Perasaan apa yang
tengah begejolak dalam diri hanyalah milik masing-masing. Tak ada yang mampu
menerjemahkan. Mobil ambulans terus melaju menembus sisa gelap malam,
sayup-sayup kumandang azan subuh mulai bersautan”(HSD,2014:181)
B.5. sudut pandang
Sudut
pandang adalah penempatan posisi pengarang terhadap tokoh untuk menampilkan
cerita. Secara mudah, sudut pandang adalah tekhnik yang dipilih pengarang untuk
menampilkan cerita. Dalam penyajian novel Hanya Sebutir Debu, pengarang
menggunakan sudut pandang ketiga dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan
menyebut nama atau kata ganti ia, dia atau mereka.
“Rozan masih terlalu muda, tak
cukup banyak keberanian di dalam dirinya, meski ia tetap merasa tahan untuk
menanggung segala derita dan hantaman apa pun terkadang disadarinya bahwa itu
memang menjadi terlalu belebih-lebihan, sebab ketika merasa kesepian ia pun
bisa menangis sendiri”(HSD,2014:12)
B.6.
gaya Bahasa
Gaya merupakan cara pengungkapan seorang
pengarang. Setiap pengarang mempunyai gaya Bahasa sendiri dalam penyampaian
cerita. Pengarang novel Hanya Sebutir Debu menggunakan Bahasa yang mudah
dipahami oleh khalayak umum karena Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang
sederhana dan tidak rumit.
“Diluar, udara seperti berkabut.
Kering dan kesat. Ditutupnya kaca jendela agar angina musim kemarau tak membawa
masuk debu-debu ke dalam mobil colt. Sebagai seorang tersaing dalam perjalanan,
ia merasakan kesendirian yang menyamankan sekaligus kesunyian. Seperti debu yang
hanya akan terlihat kala tertimpa cahaya, begitulah ia merasakan tak
benar-benar ada. Hanya seseorang yang sedang melakukan perjalanan, namun tak
tahu akan berakhir dimana”(HSD,2014:1)
B.7. amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan
oleh pengarang dalam sebuah cerita. Pesan dalam cerita mencerminkan pandangan
hidup pengarang. Pesan dapat berupa penerapan sikap dan tingkah laku para tokoh
yang terdapat dalam cerita. Melalui cerita, sikap dan tingkah laku tokoh
tersebut dapat diharapkan dapat menyajikan hikmah. Amanat dalam novel Hanya
Sebutir Debu disampaikan melalui sikap dan tingkah laku Rozan yang menjadi
tokoh utama. Yaitu jangan pernah putus asa dalam menghadapi masalah seberat
apapun. terus berjuang dan tetap semangat. Dan sayangilah kedua orang tua kita
walupun bukan orang tua kita yang asli. Selain itu kehidupan di pondok
pesantren sangat baik bagi kita sebagai umat islam.
C. penilaian
C.1. kelebihan novel
Kelebihan novel ini adalah ceritanya menarik
kemudian cerita ini berdasarkan cerita ini merupakan kisah nyata dari seorang
Razaan Aiman Tisan.
C.2. kelemahan novel
Kelemahan novel ini adalah ada
beberapa kata yang tidak semua orang mengerti, kemudian ada beberapa kata yang
tidak sempurna seperti halnya kata dalam yang hanya dituliskan dlm tepatnya di
halaman 101 pada paragraph ke-tujuh, dan juga pada halaman 18 paragraf terakhir
yang menuliskan kata tugas menjadi tukas.
Amanat Dri Buku Novel Hanya Sebutir Debu Dimna?
BalasHapus